Sungguh sangat prihatin dengan tingginya tingkat dekadensi moral dan tindak kriminal yang dilakukan para pelajar.  Data yang disampaikan oleh salah satu media nasional bulan Januari lalu, sebagai hasil penelitian dari Komnas Perlindungan Anak dan PKBI BKKBN, sungguh membuat kita prihatin dan merinding, terutama para orangtua dan kalangan pendidik . Pasalnya, para remaja dan pelajar kita di beberapa kota besar di Indonesia sudah begitu jauh terjebak pada pergaulan bebas.  Dalam laporan tersebut disampaikan, 62,7% remaja kita SMP/SMA pernah melakukan hubungan seks pranikah, 21,2% pernah melakukan aborsi, 93,7% remaja pernah melakukan ciuman, genital stimulan, oral seks dan yangsangat mencengangkan, 97% remaja SMP dan SMA pernah menonton film porno.

Dari data tersebut, kita patut mengusap dada, akan seperti apa kelak generasi penerus ke depan.  Dalam laporan tersebut disampaikan, bahwa sebanyak 85% pergaulan bebas yang mereka perbuat, aktivitasnya dilakukan di rumahnya sendiri.  Banyak hal yang menarik dan patut kita pertanyakan dari kasus ini, seberapa efektifkan pendidikan agama bagi para siswa, bagaimanakah perhatian orangtua selama ini, seperti apakah model generasi muda di masa depan?  Remaja dan pelajar saat ini adalah cerminan generasi dimasa depan.  Jika kondisi saat ini seperti itu, maka dapat tergambar akan sepeti apa moral dan etika generasi di masa depan.

Baru-baru ini di Jawa Tengah terjadi perampokan terhadap sebuah toko dengan cara membobol tembok belakang toko yang dilakukan oleh sekawanan pelajar Madrasah Ibtidaiyah – setingkat SD.  Mereka berkomoplot merampok pada malam hari hanya untuk menambah uang jajan.  Mencermati dari berbagai kasus tindak kriminal dan dekandensi moralitas pelajar tersebut, dengan tidak mengurangi apresiasi terhadap pelajar yang masih menjaga ‘kesucian’ kesungguhan belajar dan prestasinya, maka perlu diambil langkah-langkah yang konstruktif dan sinergis diantara para orangtua, sekolah, masyarakat dan pemerintah, agar generasi muda kita dapat diselamatkan.

 

Keluarga sebagai dasar

Keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama.  Dalam lingkungan keluargalah seorang anak pertama kali mendapatkan bekal berupa nilai-nilai tentang baik dan buruk dalam kehidupan.  Orangtua sangat berperan penting dalam menanamkan nilai-nilai dasar bagi bangunan budi pekerti, etika dan moralitas anak kelak dalam kehidupannya.  Keluarga merupakan salah satu pilar penting bangsa dalam membangun warga negara yang berkualitas dan berintegritas.

Seorang remaja yang cukup mendapatkan kasih sayang dan bekal nilai yang cukup di rumah maka akan tenang, nyaman dan mantap secara nilai di luar rumah.  Tetapi ketika di rumah tidak mendapatkan apa yang dibutuhkannya, di luar rumah akan menyerap apapun yang didapatkannya , yang menjadi permasalahan adalah, ketika nilai-nilai yang ada di luar sangat merusak jiwanya bahkan kehidupannya.

Perhatian yang cukup dan kasih sayang yang intens serta suasana yang dialogis antara anak dan orangtua adalah salah satu upaya yang efektif, untuk menjadikan para remaja lebih percaya pada orangtua dan keluarganya.  Perlu dibangun rasa saling percaya antara seluruh anggota keluarga sehingga merasa nyaman dan dihargai.

 

Pembudayaan di sekolah

Sebagai rumah kedua setelah keluarga, sekolah berperan penting dalam menanamkan dan membekali nilai-nilai bagi seorang anak atau para remaja kita.  Di sekolah para remaja berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman dan guru-gurunya.  Sekolah, merupakan laboratorium sosial bagi anak.  Bahkan anak-anak lebih menyerap nilai-nilai dari teman sebayanya, dari orangtuanya, ketika orangtua tidak dapat mendekati anak-anaknya dengan pendekatan yang tepat.

Sekolah harus berperan sebagai pembangun karakter (character builder), dan tidak hanya sekedar menyebar pengetahuan (transfer of knowledge).  Sekolah bukanlah semata-mata persiapan anak di masa depan, tetapi sekolah harus dijadikan kehidupan itu sendiri, jadi pada saat di sekolahlah  penanaman nilai-nilai harus secara efektif dijalankan melalui kegiatan pembelajaran di dalam kelas maupun diluar kelas sehingga proses pendidikan dan pembudayaan berjalan dengan beriringan.

 

Pendidikan agama sebagai benteng

Dalam keadaan jaman yang semakin terbuka terhadap budaya luar, melalui berbagai media terutama internet, memang sangat riskan masuknya budaya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama maupun norma setempat.

Pada saat ini, para remaja begitu mudah untuk mengakses berbagai berita, gambar, film melalui situs-situs yang ada di internet. Satu-satunya jalan yang dapat mengendalikan pada remaja untuk tidak membuka situs-situs yang merusak adalah nilai-nilai keimanan dan agamanya.  Jika pemahaman dan penanaman nilai-nilai iman dan taqwanya lemah, maka dapat dibayangkan yang akan terjadi berikutnya, sebagaimana laporan dari PKBI BKKBN diatas.

Penulis berpikir tampaknya mendesak, perlu segera dirumuskan pendidikan agama yang tidak hanya sebatas verbalistik tetapi lebih subtantif, membangun karakter yang memiliki integritas nilai-nilai.  Pendidikan agama selama ini tidak berbeda dengan pelajaran lainnya yang hanya menyentuh aspek kognitif, tidak sampai pada dimensi afektif dan isoteris.  Pendidikan agama selama ini baru pada tahap formalisme.  Perlu penambahan paradigma yang sangat mendasar dalam upaya penanaman nilai-nilai agama pada remaja kita.  Pendidikan agama merupakan hal yang mutlak dalam membangun etika dan moral para remaja kita, yang akan mewarisi di masa depan.

 

Spiritualisasi pendidikan dan pembelajaran

Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah dengan diterapkannya konsep spiritualisasi pendidikan atau pembelajaran.  Integritas antara iman dan ilmu, akal dan agama, hati dan pikiran adalah salah satu model agar pendidikan secara efektif mampu membangun pribadi yang utuh.  Integrasi ilmu pengetahuan, tekonologi (IPTEK) dan iman, taqwa (IMTAQ), adalah hal yang mutlak dan mendesak untuk diterapkan pada saat ini.

Melalui keterpaduan antara IPTEK dan IMTAQ diharapkan mampu melahirkan para remaja disamping pintar juga berkarakter, disamping sukses juga shaleh.  Bagaimanakah memadukan antara kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan fisik (PQ) dan kecerdasan spiritual (SQ).

Spiritualisasi pendidikan akan efektif jika seluruh pengampu berkepentingan  pendidikan (stakeholders) sadar, yakin dan bekerjasama untuk memajukan model pendidikan yang utuh (holistik) dan terintegrasi.  Pendidikan adalah proses yang sistemik, tidak mungkin keberhasilan pendidikan diraih maksimal, tanpa kerjasama dan keterlibatan semua pihak.

Membangun etika dan moral pelajar kita saat ini, merupakan hal yang sangat mendesak serta urgen dilaksanakan, jika tidak segera, maka bangsa Indonesia harus membayar harga sosial yang sangat mahal, berupa kehancuran dan kekacauan kehidupan bangsa di masa depan.  Kekuatan sebuah bangsa adalah terletak pada bagaimana keadaan moralitas warga negaranya.  Nabi Muhammad SAW pun diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak umat manusia.  Innamal buistu liutammamima makaarimal akhlak

Wallahu ‘alam.

 

*Rustana Adhi

Guru dan tim pengembang SMP PGII I Bdg .