Free Website Hosting

Bisnis di internet dengan mudah

October 24, 2009

Miliki bisnis di internet ! Miliki tambahan uang saku dengan mudah, Segera bergabung Siapapun Anda ! dimanapun Anda ! Pasti bisa  <a href="http://www.usahaweb.com/idevaffiliate.php?id=14625_3">http://www.usahaweb.com/idevaffiliate.php?id=14625</a>


• mulai dari NOL RUPIAH (TANPA MODAL
• prospek masa depan yang SANGAT CERAH
• bisa memberikan penghasilan yang MAPAN
• bisa memberikan PENGHASILAN AKTIF DAN PENGHASILAN PASIF (penghasilan tanpa kerja) sekaligus!
• bisa BERJALAN DENGAN SENDIRINYA dan bisa dikerjakan atau dikontrol dari mana saja, termasuk di rumah sambil berkumpul dengan keluarga dan sambil mengerjakan hal-hal yang Anda sukai!

<a href="http://www.usahaweb.com/idevaffiliate.php?id=14625_3">Mau Tambah Uang Saku ?</a>

<a href="http://www.komisiGRATIS.com/?id=inenthea" target="blank"> <img border="0" src="http://meditekom.wordpress.com/files/2009/05/bannerkg1.gif" width="125" height="60"></a>

 

Etika Politik

October 24, 2009

Sebagai insan yang senantiasa beriman dan bertaqwa kepada Allah Subhanawata’ala, Tuhan Yang Maha Kuasa,  sudah sepantasnya kita bersama-sama mengucapkan Syukur Alhamdulillah kehadirat Illahi Robbi, karena dengan perkenan-Nya kita semua dapat hadir dalam keadaan sehat wal afiat pada acara wisuda Pasca Sarjana, Sarjana, Diploma III, serta Dies Natalis Universitas Nasional ke-57, saya atas nama pribadi dan selaku Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia mengucapkan SELAMAT, saya turut berbahagia.

Bagi sebuah perguruan tinggi, melampaui usia 50 tahun bukanlah usia yang mudah dicapai, serta di tanah air masih sedikit perguruan tinggi yang telah mencapai usia itu. Karena itu jika terdapat sebuah universitas melewati usia lebih dari setengah abad, niscaya hal itu merupakan bukti kemampuan dan kecerdasan pemimpin dan pengelola universitas itu dalam meniti zaman demi zaman dengan berbagai kondisi dan tantangan yang berbeda-beda. Kita semua bersyukur karena Universitas Nasional telah mampu membuktikan keandalannya melewati usia setengah abad ini. Berbagai pengalaman, suka duka, dan pasang surut yang menyertai perjalanan selama 57 tahun tentunya akan mendorong terwujudnya kematangan dan kedewasaan serta kearifan bagi Universitas Nasional.

Semoga Universitas Nasional dapat terus meningkatkan kualitas perannya dalam mengemban amanah Tridharma Perguruan Tinggi; mencetak manusia-manusia Indonesia yang berilmu, berintegritas tinggi, dan berwawasan luas; melakukan penelitian yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat; dan melakukan pengabdian kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan kualitas kesejahteraannya.

Dalam dunia yang berubah dengan cepat di era globalisasi ini diperlukan pengembangan dan pemahaman paradigma baru untuk membangun sumber daya manusia yang unggul. Pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia itu bukan merupakan suatu produk manufaktur, tetapi seperti layaknya pengembangan tanaman yang harus dipilih bibitnya dengan tekun, dipilih tanahnya yang subur, atau kalau perlu dikerjakan tanahnya lebih dulu agar tanamannya bisa tumbuh subur, dan secara telaten harus disiram, dipupuk, dan dijauhkan dari tanaman liar yang bisa mengganggunya. Karena itu, sumber daya manusia harus dikembangkan dengan pemeliharaan sejak dini dengan sebaik-baiknya, dibangkitkan motivasi dan kemauannya untuk maju, dipompa kemampuannya, dan diberikan dorongan yang positif untuk sanggup membangun dan bekerja keras. Mereka harus sadar bahwa hanya dengan bekerja keras mereka berhak mendapatkan tingkatan kesejahteraan untuk masa depan pribadi, anak cucu, dan bangsanya.

Banyak studi empiris dilakukan untuk melihat kaitan antara kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan. Denison (1962), misalnya, menemukan adanya sumbangan yang besar dari peningkatan years of schooling terhadap pertumbuhan Amerika Serikat. Barro (1991) serta Mankiw, Romer, dan Weil (1992) menyatakan bahwa partisipasi pendidikan dan investasi yang cukup besar untuk pendidikan pada tahun 1960-an merupakan faktor yang penting dalam menjelaskan variasi pertumbuhan negara-negara di dunia selama 40 tahun terakhir ini. Mereka memperlihatkan bahwa kualitas sumber daya manusia menyumbang secara cukup berarti bagi pertumbuhan. Sumbangan itu kira-kira sama dengan sumbangan physical capital. Becker (1995) bahkan menunjukkan adanya estimasi bahwa sekitar 80 persen aset dan kekayaan Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya terdiri atas modal manusia.

Dengan pendekatan ini, dapat diterangkan secara jelas apa yang menjadi kunci keberhasilan negara-negara di Asia yang berkembang cepat, dimulai dari Jepang, kemudian Korea, Taiwan, Hongkong, dan Singapura, yang memberikan penekanan besar pada penguatan kualitas sumber daya manusia. Dengan sumber daya alam yang terbatas dan hambatan yang mereka hadapi dalam ekspornya ke Barat, mereka dapat tetap memelihara daya saing dan tingkat pertumbuhan yang menakjubkan.

Pengembangan kualitas sumber daya manusia ini yang paling utama dihasilkan oleh pendidikan. Melalui pendidikan akan menghasilkan insan-insan yang tidak hanya menyandang gelar sarjana, tetapi insan-insan yang bersemangat ilmiah, yang kreatif, yang selalu mencari kesempurnaan (unending search for excellence) dan menghindarkan sikap mediocre. Manusia-manusia yang demikian inilah yang akan menjadi modal pembangunan yang utama, yang akan menjadi andalan masa depan.

Saya menaruh harapan yang besar sekali kepada segenap civitas academica Universitas Nasional untuk tidak sekedar mengalir melalui proses dalam menekuni profesi dan membangun kualitas diri, namun lebih dari itu, kita harus mampu menangkap nuansa baru dari perubahan sosial yang sekaligus disertai dengan arus globalisasi yang sangat cepat tersebut. Kita harus secara dinamis menguasai, bahkan menciptakan masa depan dan tidak mengambil sikap menunggu untuk sekedar menjawab tantangan yang dikeluarkannya. Kita harus menciptakan masa depan kita sendiri. Kita harus mampu mengembangkan ide-ide baru yang segar, yang bisa menangkap “mimpi” dan “cita-cita” masyarakat dengan visi yang jauh ke depan melampaui jamannya.

Pada kesempatan yang baik ini saya mendapat kehormatan untuk menyampaikan Etika Politik di Indonesia. Pilihan topik ini sangat menarik karena kita berada pada tahapan konsolidasi politik setelah melampaui masa transisi politik dengan relatif mulus. Seiring dengan datangnya era reformasi pada pertengahan tahun 1998, Indonesia memasuki masa transisi dari era otoritarian ke era demokrasi. Dalam masa transisi itu, dilakukan perubahan-perubahan yang bersifat fundamental dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk membangun tatanan kehidupan politik baru yang demokratis. Arah baru ini menjadikan  Indonesia oleh Freedom House  (2003), dimasukkan sebagai salah satu dari dua negara demokrasi baru bersama Nigeria yang paling signifikan yang muncul setelah tahun 1997.

Pada awal masa transisi itu, agar agenda reformasi dapat dilaksanakan secara lebih utuh dan sistematis, dilakukan percepatan pemilu, yang semula direncanakan tahun 2003 dimajukan menjadi tahun 1999. Setelah terbentuk pemerintahan baru hasil Pemilu 1999 berbagai agenda reformasi dijalankan, termasuk salah satu yang terpenting adalah melakukan perubahan  UUD 1945.

Desakan kuat bagi adanya perubahan UUD 1945, salah satu latar belakangnya adalah karena konstitusi ini kurang memenuhi aspirasi demokrasi, termasuk dalam meningkatkan kemampuan untuk mewadahi pluralisme dan mengelola konflik yang timbul karenanya. Lemahnya checks and balances antar lembaga negara, antar pusat-daerah, maupun antara negara dan masyarakat, mengakibatkan mudahnya muncul kekuasaan yang sentralistik, yang melahirkan ketidakadilan. Tidak dipungkiri, sentralisme kekuasaan pemerintah di bawah UUD 1945, telah membawa implikasi munculnya ketidakpuasan yang berlarut-larut dan konflik di mana-mana. Konflik tersebut cukup mendasar, karena mengkombinasikan dua elemen yang kuat: faktor identitas berdasarkan perbedaan ras, agama, kultur, bahasa, daerah, dan lain-lain; dengan pandangan ketidakadilan dalam distribusi sumber-sumber daya ekonomi.

Dengan demikian tidaklah mengherankan apabila gagasan perubahan UUD 1945 dengan cepat segera mengambil hati dan pikiran rakyat, serta menjadi agenda pembicaraan berbagai kalangan. Sakralisasi UUD 1945 selama puluhan tahun yang membuat tidak ada yang dapat mengambil sifat kritis terhadap UUD 1945, runtuh seketika.

MPR hasil pemilihan umum 1999 yang diselenggarakan dengan cukup demokratis, menindaklanjuti tuntutan masyarakat yang menghendaki perubahan UUD 1945 dengan melakukan satu rangkaian perubahan konstitusi dalam empat tahapan yang berkesinambungan, sejak Sidang Umum MPR Tahun 1999 sampai dengan Sidang Tahunan MPR 2002. Perubahan konstitusi tersebut dilakukan MPR karena lembaga negara inilah yang berdasarkan UUD 1945 berwenang untuk melakukan perubahan UUD.

Perubahan UUD tersebut dilakukan MPR guna menyempurnakan ketentuan fundamental ketatanegaraan Indonesia sebagai pedoman utama dalam mengisi tuntutan reformasi dan memandu arah perjalanan bangsa dan negara pada masa yang akan datang, dengan harapan dapat berlaku untuk jangka waktu ke depan yang cukup panjang.

Seiring dengan itu, perubahan UUD tersebut juga dimaksudkan untuk meneguhkan arah perjalanan bangsa dan negara Indonesia agar tetap mengacu kepada cita-cita negara sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial.

Perubahan UUD 1945 telah mewujudkan konstitusi Indonesia yang memungkinkan terlaksananya penyelenggaraan negara yang modern dan demokratis. Semangat yang diemban dalam perubahan konstitusi tersebut adalah supremasi konstitusi, keharusan dan pentingnya pembatasan kekuasaan, pengaturan hubungan dan kekuasaan antarcabang kekuasaan negara secara lebih tegas, penguatan sistem checks and balances antarcabang kekuasaan, penguatan perlindungan dan penjaminan hak asasi manusia, dan pengaturan hal-hal mendasar di berbagai bidang kehidupan.

Semangat tersebut di atas dapat terlihat dari adanya penegasan yang mengatur pelaksanaan kedaulatan rakyat; pernyataan bahwa Indonesia adalah negara hukum; kesejajaran kedudukan antarlembaga negara sehingga tidak dikenal lagi adanya lembaga tertinggi negara dan tinggi negara tetapi setiap lembaga negara melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai UUD 1945; pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden hanya maksimal dua kali masa jabatan; seluruh anggota lembaga perwakilan dipilih dan tidak ada lagi yang diangkat; pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat; kekuasaan membentuk undang-undang di tangan lembaga legislatif; pembentukan lembaga perwakilan baru Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang memperkuat posisi daerah dalam sistem ketatanegaraan kita; dan pembentukan lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman baru Mahkamah Konstitusi (MK).

Selain itu juga dimuat ketentuan mengenai pemilihan umum setiap lima tahun dan diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri; pengaturan mengenai wilayah negara; ketentuan mengenai hak asasi manusia yang sangat rinci, dan pengaturan hal-hal mendasar berbagai bidang kehidupan seperti ekonomi, pendidikan, pertahanan dan keamanan, ilmu pengetahuan, kesejahteraan sosial, kebudayaan, dan lain-lain.

Berbagai perubahan mendasar tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan penerbitan berbagai undang-undang organik serta peraturan di bawahnya. Kesemuanya diarahkan untuk mewadahi proses transisi ke demokrasi, khususnya sebagai pedoman dalam menyelenggarakan Pemilu 2004 yang diharapkan menjadi batas akhir masa transisi dan mulai dimasukinya era baru bagi bangsa Indonesia, yaitu era konsolidasi demokrasi.

Pemilu 2004 yang diharapkan menjadi “jembatan emas” berakhirnya masa transisi dan mulai dimasukinya era konsolidasi demokrasi telah berlangsung secara damai dan demokratis. Pemilu yang berjalan lancar dan tertib serta demokratis tersebut serta berlangsung tanpa gejolak, kekerasan, apalagi pertumpahan darah merupakan prestasi luar biasa bagi bangsa Indonesia.

Tidak sedikit para pengamat menilai, jika ditinjau dari pemilih yang secara langsung dapat memilih kandidat Presiden dan Wakil Presiden yang disukainya, sistem Pemilu Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia dapat dipandang lebih maju dan setingkat lebih tinggi bobotnya dibanding Pemilu Presiden dan Wakil Presiden di AS, karena pemilih di AS tidak dapat langsung memilih kandidat yang diinginkannya. Mereka hanya memilih electoral collage, baru hasil electoral collage itu menentukan siapa kandidat yang menang di suatu distrik pemilihan dengan sistem “pemenang mengambil semua suara”. Sistem ini di AS makin banyak dikritik karena rumit dan sering tidak mencerminkan kehendak mayoritas pemilih. Hal itu dapat dilihat pada Pemilu 2000 di mana George W. Bush menang karena lebih banyak meraih suara electoral collage, padahal jumlah suara pemilihnya (popular vote) lebih sedikit dibanding Al Gore.

Pemilu 2004 telah menghasilkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden, DPR, dan DPD untuk periode lima tahun ke depan. Lembaga-lembaga negara lainnya juga telah berjalan, yaitu MPR, BPK, MA, dan MK. Lembaga-lembaga negara tersebut kini telah bekerja melaksanakan tugas konstitusionalnya sebagaimana diatur dalam UUD 1945 yang telah disempurnakan. Seiring dengan itu UUD 1945 yang telah disempurnakan telah dijalankan oleh penyelenggara negara sesuai ruang lingkup tugas dan wewenangnya.

Pada titik inilah dapat dikatakan bahwa masa transisi telah berakhir dan Indonesia memasuki era baru, yakni dimulainya era konsolidasi demokrasi. Larry Diamond (1999) menjelaskan, masa transisi adalah titik awal atau interval (selang waktu) antara rezim otoritarian dengan rezim demokratis. Transisi dimulai dari keruntuhan rezim otoritarian lama yang kemudian diikuti atau berakhir dengan pengesahan lembaga-lembaga politik dan aturan politik baru di bawah payung demokrasi. Adapun konsolidasi demokrasi mencakup peningkatan secara prinsipil komitmen seluruh elemen masyarakat pada aturan main demokrasi. Konsolidasi juga dipahami sebagai proses panjang yang mengurangi kemungkinan pembalikan (reversal) demokratisasi, mencegah erosi demokrasi, menghindari keruntuhan demokrasi, yang diteruskan dengan melengkapi demokrasi, pendalaman demokrasi dan mengorganisir demokrasi secara berkelanjutan. Pada akhirnya proses konsolidasi akan membuahkan pemantapan sistem demokrasi secara operasional dan memperoleh kredibilitas di hadapan masyarakat dan negara.

Huntington memperingatkan bahwa tahun-tahun pertama berjalannya masa kekuasaan pemerintahan demokratis yang baru, umumnya akan ditandai dengan bagi-bagi kekuasaan di antara koalisi yang menghasilkan transisi demokrasi tersebut, penurunan efektifitas kepemimpinan dalam pemerintahan yang baru sedangkan dalam pelaksanaan demokrasi itu sendiri belum akan mampu menawarkan solusi mendasar terhadap berbagai permasalahan sosial dan ekonomi di negara  yang bersangkutan. Tantangan bagi konsolidasi demokrasi adalah bagaimana menyelesaikan masalah-masalah tersebut dan tidak justru hanyut oleh permasalahan-permasalahan itu.

Dahl (1997) memperkuat gagasan bahwa konsolidasi demokrasi menuntut etika politik yang kuat yang memberikan kematangan emosional dan dukungan yang rasional untuk menerapkan prosedur-prosedur demokrasi. Ia melandaskan penekanannya pada pentingnya etika politik pada asumsi bahwa semua sistem politik termasuk sistem demokrasi, cepat atau lambat akan menghadapi krisis, dan etika politik yang tertanam dengan kuatlah yang akan menolong negara-negara demokrasi melewati krisis tersebut. Implikasinya proses demokratisasi tanpa etika politik yang mengakar menjadi rentan dan bahkan hancur ketika menghadapi krisis seperti kemerosotan ekonomi, konflik regional atau konflik sosial, atau krisis politik yang disebabkan oleh korupsi atau kepemimpinan yang terpecah.

Dengan kata lain, Etika Politik adalah sarana yang diharapkan mampu menciptakan suasana harmonis antar pelaku dan antar kekuatan sosial politik serta antar kelompok kepentingan lainnya untuk mencapai sebesar-besar kemajuan bangsa dan negara dengan mendahulukan kepentingan bersama dari pada kepentingan pribadi dan golongan.

Etika politik mengandung misi kepada setiap pejabat dan elite politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toteran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. Etika politik harus menjadi pedoman utama dengan politik santun, cerdas, dan menempatkan bangsa dan negara di atas kepentingan partai dan golongan.

MPR juga memandang bahwa etika politik mutlak diperlukan bagi perkembangan kehidupan politik oleh karena itu MPR menetapkan Ketetapan MPR RI No. VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Dalam Ketetapan tersebut diuraikan bahwa etika kehidupan berbangsa tidak terkecuali kehidupan berpolitik merupakan rumusan yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat universal, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa.

Rumusan tentang Etika Kehidupan Berbangsa ini disusun dengan maksud untuk membantu memberikan penyadaran tentang arti penting tegaknya etika dan moral dalam kehidupan berbangsa. Pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa.

Etika kehidupan berbangsa ini diuraikan menjadi 6 (enam) etika yaitu:

1. Etika Sosial dan Budaya;

2. Etika Politik dan Pemerintahan;

3. Etika Ekonomi dan Bisnis;

4. Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan;

5. Etika Keilmuan; dan

6. Etika Lingkungan.

Dalam Ketetapan tersebut juga dinyatakan bahwa Etika Politik dan Pemerintahan dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggungjawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa. Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.

Masalah potensial yang dapat menimbulkan permusuhan dan pertentangan diselesaikan secara musyawarah dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan sesuai dengan nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya, dengan tetap menjunjung tinggi perbedaan sebagai sesuatu yang manusiawi dan alamiah.

Etika Politik dan Pemerintahan diharapkan mampu menciptakan suasana harmonis antarpelaku dan antarkekuatan sosial politik serta antarkelompok kepentingan lainnya untuk mencapai sebesar-besar kemajuan bangsa dan negara dengan mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi dan golongan.

Etika Politik dan Pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan Politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. Tap ini mengamanatkan kepada seluruh warga negara untuk mengamalkan etika kehidupan berbangsa.

Berbicara mengenai etika berpolitik, kita harus mengakui bahwa banyak kalangan elite kita cenderung berpolitik dengan melalaikan etika kenegarawanan. Banyak sekali kenyataan bahwa berpolitik dilakukan tanpa rasionalitas, mengedepankan emosi dan kepentingan kelompok, serta tidak mengutamakan kepentingan berbangsa. Hal ini sangat menghawatirkan karena bukan hanya terjadi pembunuhan karakter antarpemimpin nasional dengan memunculkan isu penyerangan pribadi, namun politik kekerasan pun dapat terjadi.

Elite nasional yang seperti ini cenderung kurang peduli terhadap terjadinya konflik masyarakat dan tumbuhnya budaya kekerasan. Elite bisa bersikap seperti itu karena mereka pun sebagian besar berasal dari partai politik atau kelompok-kelompok yang berbasis primordial sehingga elite cenderung berperilaku yang sama dengan perilaku pendukungnya.

Elite serta massa yang cenderung berpolitik dengan mengabaikan etika. Bahkan elite seperti ini merasa halal untuk membenturkan massa atau menggunakan massa untuk mendukung langkah politiknya. Mereka tidak sadar bahwa sebenarnya kekuatan yang berbasis primordial di negeri ini cenderung berimbang. Jika mereka terus berbenturan, tak akan ada yang menang.

Kurangnya  etika berpolitik ini merupakan akibat dari dari ketiadaan pendidikan politik yang memadai. Bangsa kita tidak banyak mempunyai guru politik yang baik, yang dapat mengajarkan bagaimana berpolitik tak hanya memperebutkan kekuasaan, namun dengan penghayatan etika serta moral. Politik yang mengedepankan take and give, berkonsensus, dan pengorbanan.

Selain itu kurangnya komunikasi politik juga menjadi penyebab lahirnya elite politik seperti ini. Yaitu elite politik yang tidak mampu menyuarakan kepentingan rakyat, namun juga menghasilkan orang-orang yang cenderung otoriter, termasuk dalam wacana. Politik kekerasan semakin berkembang karena perilaku politik dipandu oleh nilai-nilai emosi.

Untuk berpolitik dengan etika dan moral, paling tidak dibutuhkan dua syarat:

1. Ada kedewasaan untuk dialog;

2. Dapat menomorduakan kepentingan pribadi atau kelompok.

Perilaku pemimpin nasional pun, sesungguhnya tidak berbeda jauh dengan massanya. Karena itu tumbuhnya kedewasaan politik di antara pemimpin nasional sangat dapat menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran serta untuk menyelamatkan masa depan bangsa Indonesia sendiri.

Untuk menyelamatkan bangsa ini mau tak mau pendidikan kewarganegaraan harus semakin dikembangkan. Sebagai contoh adalah melalui pendidikan kewarganegaraan di semua jenjang pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi yaitu pendidikan yang menyadarkan kita terhadap pluralitas dan keberagaman yang tinggi. Pluralitas ini begitu penting dan harus diutamakan.

Berpolitik tanpa kesadaran etika dan moral hanya akan melahirkan krisis kepemimpinan. Karena itu, sekarang yang diharapkan adalah adanya pencerahan dari kembalinya budayawan dan agamawan yang bermoral sehingga kita senantiasa kembali pada etika, moralitas, dan kebhinnekaan.

Krisis kehidupan berbangsa dan bernegara, yang sedang dihadapi bangsa Indonesia, antara lain karena persoalan etika dan perilaku kekuasaan. Silang pendapat, perdebatan, konflik, dan upaya saling menyalahkan terus berlangsung di kalangan elite, tanpa peduli dan menyadari bahwa seluruh rakyat kita sedang prihatinmenyaksikan kenyataan ini.

Kemampuan membangun harmoni, melakukan kompromi dan konsensus di kalangan elite politik kita terkesan sangat rendah, tetapi cepat sekali untuk saling melecehkan dan merendahkan. Padahal untuk mengubah arah dan melakukan lompatan jauh ke depan, sangat diperlukan kompromi dan semangat rekonsiliasi.

Politik bukanlah persoalan mempertaruhkan modal untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar, sebagaimana diyakini oleh sebagian besar pelaksana money politics di Tanah Air kita. Politik bukanlah semata-mata perkara yang pragmatis sifatnya, yang hanya menyangkut suatu tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut, yang dapat ditangani dengan memakai rasionalitas. Politik lebih dari pragmatisme, tetapi mengandung sifat eksistensial dalam wujudnya karena melibatkan juga rasionalitas nilai-nilai.

Karena itulah, politik lebih dari sekadar matematika tentang hubungan mekanis di antara tujuan dan cara mencapainya. Politik lebih mirip suatu etika yang menuntut agar suatu tujuan yang dipilih harus dapat dibenarkan oleh akal sehat yang dapat diuji, dan cara yang ditetapkan untuk mencapainya haruslah dapat dites dengan kriteria moral.

Khusus untuk para politisi muda dan calon politisi lainnya, perlu diketahui bahwa dalam politik itu ada keindahan dan bukan hanya kekotoran, ada nilai luhur dan bukan hanya tipu muslihat, ada cita-cita besar yang dipertaruhkan dalam berbagai langkah kecil, dan bukan hanya kepentingan-kepentingan kecil yang diucapkan dalam kata-kata besar. Hal-hal inilah yang menyebabkan politik dapat dilaksanakan dan harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

Apabila kesadaran etika berpolitik sangat rendah maka tantangan yang mungkin kita hadapi kedepan adalah terjadinya feodalisme maupun kapitalisme dalam politik Indonesia yang dapat mengakibatkan bahwa kemerdekaan nasional justru memberi kesempatan kepada para pemimpin politik menjadi raja-raja yang membelenggu rakyatnya dalam ketergantungan dan keterbelakangan.

Tantangan ini harus kita hadapi dengan penuh kesadaran untuk selalu berjuang menentang feodalisme dan perjuangan untuk membebaskan diri dari cengkeraman kapitalisme. Usaha ini sangat ditentukan juga melalui perjuangan partai politik.

Partai politik hendaknya berbentuk partai kader dan bukan partai massa, karena dengan partai kader para anggota partai yang mempunyai pengetahuan dan keyakinan politik dapat ikut memikul tanggung jawab politik, sedangkan dalam partai massa keputusan politik diserahkan seluruhnya ke tangan pemimpin politik dan massa rakyat tetap tergantung dan tinggal dimobilisasi menurut kehendak sang pemimpin partai. Partai politik sebagai pilar demokrasi haruslah selalu berinteraksi dengan masyarakat sepanjang tahun. Kegiatan sosial kemasyarakatan merupakan agenda wajib begitu pula sikap cepat tanggap dalam menghadapi musibah dan bencana.

Para elit politik partaipun sudah seharusnya sering terjun menemui konstituen, mendengar aspirasi mereka, dan memperjuangkannya. Partai tidak boleh membuat jarak dengan rakyat. Di sinilah sesungguhnya hakikat dari pendidikan politik yang diterapkan oleh partai politik dan elitenya. Dengan demikian, maka apapun sikap dan kebijakan partai tidak akan terlepas dari kehendak masyarakat konstituennya, dan benar-benar menjadi penyambung lidah rakyat. Sehingga dapat mencegah kehawatiran bahwa partai hanya memperjuangkan kepentingan kelompoknya. Kegiatan pencerdasan politik masyarakat harus terus dipupuk oleh partai politik melalui respon terhadap realitas sosial-politik. Selain itu berpolitik hendaknya dilakukan dengan cara yang santun, damai, dan menyejukkan. Kemudian kita juga harus mengembangan sistem multipartai agar kehidupan politik terhindar dari konsentrasi kekuasaan yang terlalu besar pada diri satu orang atau satu golongan saja. Dengan etika berpolitik yang demikian itulah kita berharap masyarakat madani yang kita cita-citakan dapat segera terwujud.***

*) Disampaikan Pada Wisuda Pasca Sarjana, Sarjana, dan Diploma III Serta Dies Natalis Universitas Nasional ke-57 di Jakarta, 21 November 2006 Oleh: Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid, M.A. (Ketua MPR RI)

 

Menyusun Tugas Akhir / Skripsi Sistem Informasi Berbasis Web

October 24, 2009

Anda sedang menyusun tugas akhir atau skripsi tentang sistem informasi ?
Anda kesulitan dalam menyusun tugas akhir atau skripsi tentang sistem informasi ?

Kami akan membantu anda dengan memberikan penawaran dalam penyusunan tugas akhir atau skripsi anda.
Jika anda berminat, Kami menyiapkan tugas akhir atau skripsi anda dengan berbasis web dengan menggunakan yakni Sistem Informasi Akademik.
1. Desain atau layout sudah jadi
2. Bisa diDemokan terlebih dahulu
3. penulisan DFD dan Flowmap disiapkan (dibantu dalam pembuatan dan perubahannya untuk menghindari plagiat/peniruan dari aslinya)
4. Koneksi server lokal dengan menggunakan Xampp-Apache Server (dibantu dalam setting dan pemasangannya di komputer anda).
5. Program script HTML dengan menggunakan PHP.
6. Koneksi Database dengan menggunakan MySQL.
7. Sofware pendukung : Dreamweaver (dibantu dalam setting dan pemasangannya di komputer anda).

Harga penawaran murah hanya Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) saja.
Contact person : 02270094235

 

PEMBELAJARAN YANG MENYENANGKAN DAN MEMBERDAYAKAN

October 24, 2009

Berdasarkan hasil sebuah penelitian untuk disertasi doktor, bahwa terdapat dua hal yang sangat berpengaruh terhadap peningkatan mutu atau kualitas pendiidkan, pertama pembelajaran yang efektif, kedua model evaluasi yang valid.

Pendidikan merupakan proses yang sistemik, setiap komponen berada di dalamnya merupakan satu kesatuan  yang tidak terpisahkan dan saling berkaitan (interdependensi).  Tetapi inti dari proses pendidikan secara keselurah adalah bagaimana terjadinya proses pembelajaran yang effektif, baik didalam kelas maupun di luar kelas.  Terciptanya suasana pembelajaran yang menyenangkan dan memberdayakan siswa adalah merupakan hal yang sangat mendasar.  Ketika siswa senang dan nyaman belajar serta tergali seluruh potensinya, maka pribadinya akan teraktualisasikan dengan optimal.  Masalahnya adalah, bagaimana menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan (enjoyful), dan mampu menggali potensi serta memberdayakannya. 

Hal yang mendasar, yang harus ada dalam proses pembelajaran adalah peserta didik atau siswa, guru atau pendidik, bahan pelajaran, media pembelajaran, metoda, dll.  Unsur yang lebih mendasar lagi dalam proses pembelajaran adalah adanya siswa dengan guru.  Jika kita runutkan kembali faktor yang paling inti, adalah kehadiran sosok seorang guru,  kehadiran seorang gurulah yang paling mendasar dalam menciptakan suasana pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (Pakem).

Peran dan fungsi guru saat ini tidaklah sekedar menyampaikan ilmu (transfer   of knowledge) tetapi lebih pada membangun kesadaran siswa akan pentingnya mengembangkan potensi diri melalui mengembangkan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge and character building).  Peran lain seorang guru yang harus lebih dikedepankan saat ini adalah sebagai fasilitator, mediator, motivator, eksplorator dan transformator.

Undang-undang no 14 tahun 2008 tentang guru dan dosen menyebutkan 4 kompetensi dasar yang harus dimiliki seorang guru.  Kompetensi profesional, personal (kepribadian), pedagogik dan sosial. Berbicara mengenai 4 dimensi kompetensi seorang guru sebagaimana tertuang dalam UU no 14 tahun 2008 tersebut, maka kemampuan untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan dan memberdayakan tersebut, tidaklah terlepas dari keempat kompetensi sebagai pendidik ..

Bagaimana seorang guru mampu membangun suasana pembelajaran yang menyenangkan dan pada saat yang bersamaan ,mampu memberdayakan para siswanya sesuai dengan bakat, potensi dan tuntutan kompetensinya. 

 

Kompetensi profesional

Dengan kemampuan profesionalnya, seorang guru akan mampu membangun suasana pembelajaran yang menyenangkan bagi murid-muridnya sekaligus memberdayakan potensi dan talentanya.  Melalui kemampuan profesional pula seorang guru akan mampu menyusun bahan ajar, memilih metoda pembelajaran yang sesuai dan mengendalikan suasana kelas yang nyaman serta menyenangkan.

Kemampuan profesional menuntut para guru mampu merancang (design) pembelajaran dengan cermat sekaligus mengaransemen proses pembelajaran dilapangan, sehingga anak tergali potensinya dan terbangun harga dirinya.  Perasaan terberdayakan inilah modal dasar bagi siswa untuk lebih tertantang mengekspresikan dan mengaktualisasikan dirinya.

 

 

 

Kompentensi personal (kepribadian)

Kepribadian seorang guru merupakan tampilan yang pertama dapat diamati dan dirasakan siswa.  “Kesan pertama begitu menarik, selanjutnya terserah anda,” demikian bunyi sebuah iklan yang begitu akrab pada ingatan kita.  Begitu pula tampaknya bagi seorang guru, kesan pertama adalah kepribadiannya.  Apakah ramah, murah senyum, tidak mudah marah, santun, peduli, perhatian, berpakaian rapi dan serasi, tenang, dan lain-lain.

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan terhadap siswa, berkenaan hal-hal yang menyenangkan dari seorang guru adalah diantaranya, guru tersebut, ramah, murah senyum, tidak cepat marah, bijaksana, perhatian, adil, tidak pilih kasih, baik sikapnya, dll.

Seorang anak atau siswa yang pada kesan pertama sudah nyaman bersama gurunya, biasanya relatif senang belajar dan mudah mengikuti pelajaran berikutnya.  Dalam sudut pandang ilmu syaraf atau neurologi, otak akan bekerja maksimal ketika hatinya berada dalam suasana yang menyenangkan, maka katup yang ada pada otak yang disebut amigdala akan mudah mengatur arus masuk dan keluarnya informasi.  Namun ketika berhadapan dengan guru yang ‘galak’, menegangkan, otak akan stres dan suasana belajar akan terganggu, tidak nyaman lagi.  Ketika suasananya tidak kondusif bahkan penuh dengan ketakutan, maka siswa akan sulit untuk mengekspresikan seluruh kemampuannya.

Melalui kompetensi personal atau kepribadiannya, seorang guru dapat berkontribusi bagi peningkatan mutu pendidikan dan pembelajaran dengan menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan, saling menghargai, santun dan nyaman.  Terlebih jika dilandasi aspek spiritualitas berupa ketulusan dan keikhlasan.

 

Kompetensi sosial

Pendidikan merupakan salah satu bentuk proses sosial, dengan adanya interaksi dan komunikasi yang timbal balik antra guru dan siswanya.  Manusia juga merupakan makhluk sosial (zoon politicon), yang harus selalu mengembangkan potensi sosialnya.  Sekarang guru yang senang bermasyarakat, bersosialisasi, akan sangat lain pembawaannya ketika berhadapan dengan siswa-siswanya, dia akan merasakan bagaimana pentingnya komunikasi, interaksi, saling menghargai (mutual responsibility).

Melalui kompetensi sosial yang bagus, seorang guru akan mampu membangun suasana pembelajaran yang sangat menyenangkan sekaligus memberdayakan siswanya.  Guru dengan kompetensi sosial yang mantap akan lebih sabar dalam menghadapi kondisi kelasnya.  Ia akan mampu ‘mengontrol’ dan mengendalikan kondisi kelasnya dengan sangat kondusif, dinamis, aktif, kreatif, eksploratif, dan transformatif. 

Sangat tidak mungkin seorang guru ketika memutuskan dan berprofesi sebagai guru, pada saat yang sama memiliki sikap yang asosial.  Kasus-kasus kekerasan yang sering terjadi dilakukan oleh oknum guru adalah salah satu ekses dari guru yang tidak cerdas secara sosial, dan berperilaku asosial.  Kompetensi sosial sangat urgen disamping kompetensi yang lainnya dalam menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan dan sekaligus memberdayakan (empowering).

 

Kompetensi pedagogis

Kompetensi pedagogis, merupakan kemampuan seorang guru untuk mendidik atau mendorong siswa sehingga mampu berubah kepada arah kedewasaan sikapnya.  Kompetensi pedagogis, merupakan hal yang sangat penting dalam pendidikan usia dini, taman kanak-kanak, sekolah dasar dan menengah.  Karena pada level pendidikan dasar dan menengah, seorang anak sangat membutuhkan bimbingan, contoh, keteladanandan perhatian dari pendidiknya baik orangtua dirumah maupun guru di sekolah.  Sangat berlainan dengan pendidikan orang dewasa yang mana guru total lebih bersifat fasilitator.

Seorang guru yang memahami dan menghayati peran pedagogisnya, akan sangat bijaksanan ketika menyampaikan materi pelajaran, akan sesuai dengan tingkat perkembangan jiwa siswanya.  Ketika terdapat siswa yang melanggar aturan sekolah atau ‘nakal’ maka akan sangat lain menghadapinya, dibanding dengan seorang guru yang lemah pada pemahaman kompetensi pedagogisnya.

Menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan sekaligus mampu memberdayakan potensi siswa adalah sesuatu yang harus terjadi (conditio sine quanon) dalam membangun pendidikan yang bermutu.  Karena mutu pendidikan akan sangat ditentukan pada tataran yang lebih kecil di lingkungan sekolah yaitu proses pembelajaran.  Dan untuk membangun pembelajaran yang bermutu, peran dan fungsi seorang guru tidak mungkin diabaikan.

Seorang pakar pendidikan dari UPI, DR. MI Sulaeman, berujar, “Jadilah guru yang baik atau tidak sama sekali”. Sahabat guru Indonesia selamat berjuang dengan tulus ikhlas.  Wallahu ‘alam.

 

*)Rustana Adhi

Tim pengembang SMP PGII I Bandung

 

MEMBANGUN KEBERMAKNAAN DALAM PEMBELAJARAN

October 24, 2009

Sekolah bukanlah semata-mata persiapan untuk kehidupan di masa depan tetapi sekolah adalah kehidupan itu sendiri.

Demikian sebuah ungkapan seorang tokoh pendidikan yang menarik untuk kita cermati berkenaan dengan membangun kebermaknaan dalam pembelajaran atau sekolah.  Memiliki sebuah arti atau kebermaknaan dalam belajar menjadi salah satu faktor yang kuat dan juga menentukan dalam keberhasilan pendidikan.  Seorang anak akan bersungguh-sungguh mengikuti proses pembelajaran ketika dia memahami tujuan, manfaat serta keuntungan dari proses pembelajaran tersebut bagi dirinya.  Kebermaknaan yang ia miliki merupakan sumber motivasi kesungguhan belajarnya.  Sedangkan siswa yang tidak punya arti proses belajar bagi dirinya sendiri, akan tercermin dari perilaku misalnya kurang respon terhadap materi di kelas, prestasi yang biasa saja, bahkan melakukan pelanggaran.

Apabila dikembalikan kepada hakikatnya, manusia adalah makhluk bermakna, apapun yang dilakukan oleh manusia harus berdasar dan memiliki makna tertentu.  Untuk itulah upaya membangun kebermaknaan dalam proses pembelajaran merupakan sesuatu yang harus ada (conditio sine quanon).  Kebermaknaan dalam proses pembelajaran dapat ditanamkan dan dibangun sesuai dengan tingkat penalaran peserta didik dengan berbagai metode atau pendekatan.  Kebermaknaan yang dibangun haruslah menyeluruh, utuh (holistic), dan mendasar (substantif) yaitu meliputi hal yang kasat mata maupun yang abstrak, imanen maupun transenden.

Kebermaknaan yang sekiranya dapat ditanamkan pada siswa dalam proses pembelajarannya harus meliputi empat dimensi potensi dasar manusia, diantaranya fisiologis, intelektual, emosional, dan spiritual.  Berdasarkan keempat dimensi tersebut penulis merumuskan kembali kebermaknaan yang akan diterapkan pada siswa di sekolah menjadi ‘10 P’.  Pertama, pahala.  Siswa harus yakin bahwa belajar atau sekolah adalah ibadah pada Allah Swt, dan apabila niatnya sudah ikhlas karena Allah pasti akan bernilai pahala sebagai investasi akhirat kelak.  Seorang anak yang memaknai belajar dan sekolahnya sebagai ibadah dan berharap dapat pahala kebaikan dari Sang Pencipta, tentu akan sungguh-sungguh dan sabar terus berjuang, anak harus yakin bahwa mereka memperoleh pengampunan dari kesabarannya dengan jalan mencari ilmu.  Anak harus yakin bahwa proses pembelajaran adalah sebagai “majelis ta’lim” dan di majelis ta’lim pasti akan turun rahmat Allah Swt berupa pahala kebaikan dan pengampunan Allah.

Ketiga, pengalaman.  Setiap hari bagi anak adalah pengalaman baru, dan pengalaman hidup. Pengalaman juga merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh manusia dalam proses pembentukan kedirian dan kepribadiannya.  Pastikan setiap anak selalu ingin menambah pengalaman yang positif dan penuh makna dalam hidupnya.  Siswa yang banyak pengalaman yang berasal pembelajaran di sekolahnya akan berguna dalam kehidupannya kelak saat terjun di masyarakat.  Keempat, pertemanan atau persahabatan.  Seorang siswa selama dalam proses pendidikan di sekolah, memiliki banyak kesempatan untuk menjalin persahabatan yang positif dan konstruktif.  Semakin banyak teman dan sahabat yang dapat dibangun tentu akan semakin baik kehidupan sosial seorang siswa.  Hal ini sangat penting untuk membangun kecerdasan emosionalnya (EQ).

Kelima, pengetahuan.  Hal ini jelas karena pembelajaran di sekolah merupakan wahana untuk pengembangan ilmu dan pengetahuan serta membangun proses penalaran anak.  Keenam, pemahaman baru.  Belajar bagi seorang anak merupakan sebuah proses yang terus menerus, boleh jadi pertemuan pertama dengan gurunya tidak paham pada pelajaran atau nilai tertentu, tetapi pada pertemuan berikutnya anak menjadi lebih paham.  Pemahaman sangat penting untuk membangun sebuah keyakinan dan tindakan yang efektif dan aplikatif.

Ketujuh, penilaian.  Seorang anak sangat membutuhkan penilaian baik kualitatif maupun kuantitatif dari guru atau wali kelasnya.  Anak akan senang jika diperhatikan dan diberi penilaian yang adil oleh gurunya, dan anak sangat membutuhkan nilai atau penilaiannya.  Kedelapan, pengakuan.  Dalam proses pembelajaran, seorang anak akan mengekspresikan semua kemampuannya jika pendidik dengan adil memberikan pengakuan atas kemampuannya.  Pengakuan bagi seorang siswa merupakan hal yang sangat mendasar, karena menyangkut harga diri seorang anak.

Kesembilan, prestasi.  Belajar akan semakin memotivasi dan menantang, ketika anak memiliki keinginan untuk meraih prestasi tertentu.  Misalnya, ingin lulus dengan angka sangat memuaskan, memperoleh rangking atau juara kelas atau mendapat hadiah menarik dari kedua orangtuanya.  Prestasi merupakan salah satu dorongan kebermaknaan dalam proses pembelajaran.

Kesepuluh, profit atau keuntungan.  Seorang siswa tidak selamanya dia akan belajar pada akhirnya mereka mendambakan sebuah pekerjaan yang layak dan bergengsi dengan penghasilan yang “wah”, keinginan itu tidak salah dan tidak perlu ditutup-tutupi selama niatnya positif dan tetap peduli pada orang lain yang berkekurangan.  Anak-anak boleh bercita-cita menjadi orang yang kaya raya dengan cara yang halal, positif, dan mulia.

Sepuluh hal atau 10 P tersebut bisa menjadi orientasi nilai atau makna yang harus pengajar tanamkan untuk membantu siswa dalam meraih serta membangun kebermaknaan dalam proses belajar, sekolah, pendidikan atau keseluruhan aspek kehidupan siswa.  Tentu saja kesepuluh hal yang minimal ini harus diraih dengan tidak meninggalkan prinsip keseimbangan dan keseluruhan (holistik).  Selamat mencoba.

 

*)  Rustana Adhi

     Guru dan tim pengembang SMP PGII I Bandung

 

MEMBANGUN ETIKA DAN MORALITAS PELAJAR

October 24, 2009

Sungguh sangat prihatin dengan tingginya tingkat dekadensi moral dan tindak kriminal yang dilakukan para pelajar.  Data yang disampaikan oleh salah satu media nasional bulan Januari lalu, sebagai hasil penelitian dari Komnas Perlindungan Anak dan PKBI BKKBN, sungguh membuat kita prihatin dan merinding, terutama para orangtua dan kalangan pendidik . Pasalnya, para remaja dan pelajar kita di beberapa kota besar di Indonesia sudah begitu jauh terjebak pada pergaulan bebas.  Dalam laporan tersebut disampaikan, 62,7% remaja kita SMP/SMA pernah melakukan hubungan seks pranikah, 21,2% pernah melakukan aborsi, 93,7% remaja pernah melakukan ciuman, genital stimulan, oral seks dan yangsangat mencengangkan, 97% remaja SMP dan SMA pernah menonton film porno.

Dari data tersebut, kita patut mengusap dada, akan seperti apa kelak generasi penerus ke depan.  Dalam laporan tersebut disampaikan, bahwa sebanyak 85% pergaulan bebas yang mereka perbuat, aktivitasnya dilakukan di rumahnya sendiri.  Banyak hal yang menarik dan patut kita pertanyakan dari kasus ini, seberapa efektifkan pendidikan agama bagi para siswa, bagaimanakah perhatian orangtua selama ini, seperti apakah model generasi muda di masa depan?  Remaja dan pelajar saat ini adalah cerminan generasi dimasa depan.  Jika kondisi saat ini seperti itu, maka dapat tergambar akan sepeti apa moral dan etika generasi di masa depan.

Baru-baru ini di Jawa Tengah terjadi perampokan terhadap sebuah toko dengan cara membobol tembok belakang toko yang dilakukan oleh sekawanan pelajar Madrasah Ibtidaiyah – setingkat SD.  Mereka berkomoplot merampok pada malam hari hanya untuk menambah uang jajan.  Mencermati dari berbagai kasus tindak kriminal dan dekandensi moralitas pelajar tersebut, dengan tidak mengurangi apresiasi terhadap pelajar yang masih menjaga ‘kesucian’ kesungguhan belajar dan prestasinya, maka perlu diambil langkah-langkah yang konstruktif dan sinergis diantara para orangtua, sekolah, masyarakat dan pemerintah, agar generasi muda kita dapat diselamatkan.

 

Keluarga sebagai dasar

Keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama.  Dalam lingkungan keluargalah seorang anak pertama kali mendapatkan bekal berupa nilai-nilai tentang baik dan buruk dalam kehidupan.  Orangtua sangat berperan penting dalam menanamkan nilai-nilai dasar bagi bangunan budi pekerti, etika dan moralitas anak kelak dalam kehidupannya.  Keluarga merupakan salah satu pilar penting bangsa dalam membangun warga negara yang berkualitas dan berintegritas.

Seorang remaja yang cukup mendapatkan kasih sayang dan bekal nilai yang cukup di rumah maka akan tenang, nyaman dan mantap secara nilai di luar rumah.  Tetapi ketika di rumah tidak mendapatkan apa yang dibutuhkannya, di luar rumah akan menyerap apapun yang didapatkannya , yang menjadi permasalahan adalah, ketika nilai-nilai yang ada di luar sangat merusak jiwanya bahkan kehidupannya.

Perhatian yang cukup dan kasih sayang yang intens serta suasana yang dialogis antara anak dan orangtua adalah salah satu upaya yang efektif, untuk menjadikan para remaja lebih percaya pada orangtua dan keluarganya.  Perlu dibangun rasa saling percaya antara seluruh anggota keluarga sehingga merasa nyaman dan dihargai.

 

Pembudayaan di sekolah

Sebagai rumah kedua setelah keluarga, sekolah berperan penting dalam menanamkan dan membekali nilai-nilai bagi seorang anak atau para remaja kita.  Di sekolah para remaja berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman dan guru-gurunya.  Sekolah, merupakan laboratorium sosial bagi anak.  Bahkan anak-anak lebih menyerap nilai-nilai dari teman sebayanya, dari orangtuanya, ketika orangtua tidak dapat mendekati anak-anaknya dengan pendekatan yang tepat.

Sekolah harus berperan sebagai pembangun karakter (character builder), dan tidak hanya sekedar menyebar pengetahuan (transfer of knowledge).  Sekolah bukanlah semata-mata persiapan anak di masa depan, tetapi sekolah harus dijadikan kehidupan itu sendiri, jadi pada saat di sekolahlah  penanaman nilai-nilai harus secara efektif dijalankan melalui kegiatan pembelajaran di dalam kelas maupun diluar kelas sehingga proses pendidikan dan pembudayaan berjalan dengan beriringan.

 

Pendidikan agama sebagai benteng

Dalam keadaan jaman yang semakin terbuka terhadap budaya luar, melalui berbagai media terutama internet, memang sangat riskan masuknya budaya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama maupun norma setempat.

Pada saat ini, para remaja begitu mudah untuk mengakses berbagai berita, gambar, film melalui situs-situs yang ada di internet. Satu-satunya jalan yang dapat mengendalikan pada remaja untuk tidak membuka situs-situs yang merusak adalah nilai-nilai keimanan dan agamanya.  Jika pemahaman dan penanaman nilai-nilai iman dan taqwanya lemah, maka dapat dibayangkan yang akan terjadi berikutnya, sebagaimana laporan dari PKBI BKKBN diatas.

Penulis berpikir tampaknya mendesak, perlu segera dirumuskan pendidikan agama yang tidak hanya sebatas verbalistik tetapi lebih subtantif, membangun karakter yang memiliki integritas nilai-nilai.  Pendidikan agama selama ini tidak berbeda dengan pelajaran lainnya yang hanya menyentuh aspek kognitif, tidak sampai pada dimensi afektif dan isoteris.  Pendidikan agama selama ini baru pada tahap formalisme.  Perlu penambahan paradigma yang sangat mendasar dalam upaya penanaman nilai-nilai agama pada remaja kita.  Pendidikan agama merupakan hal yang mutlak dalam membangun etika dan moral para remaja kita, yang akan mewarisi di masa depan.

 

Spiritualisasi pendidikan dan pembelajaran

Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah dengan diterapkannya konsep spiritualisasi pendidikan atau pembelajaran.  Integritas antara iman dan ilmu, akal dan agama, hati dan pikiran adalah salah satu model agar pendidikan secara efektif mampu membangun pribadi yang utuh.  Integrasi ilmu pengetahuan, tekonologi (IPTEK) dan iman, taqwa (IMTAQ), adalah hal yang mutlak dan mendesak untuk diterapkan pada saat ini.

Melalui keterpaduan antara IPTEK dan IMTAQ diharapkan mampu melahirkan para remaja disamping pintar juga berkarakter, disamping sukses juga shaleh.  Bagaimanakah memadukan antara kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan fisik (PQ) dan kecerdasan spiritual (SQ).

Spiritualisasi pendidikan akan efektif jika seluruh pengampu berkepentingan  pendidikan (stakeholders) sadar, yakin dan bekerjasama untuk memajukan model pendidikan yang utuh (holistik) dan terintegrasi.  Pendidikan adalah proses yang sistemik, tidak mungkin keberhasilan pendidikan diraih maksimal, tanpa kerjasama dan keterlibatan semua pihak.

Membangun etika dan moral pelajar kita saat ini, merupakan hal yang sangat mendesak serta urgen dilaksanakan, jika tidak segera, maka bangsa Indonesia harus membayar harga sosial yang sangat mahal, berupa kehancuran dan kekacauan kehidupan bangsa di masa depan.  Kekuatan sebuah bangsa adalah terletak pada bagaimana keadaan moralitas warga negaranya.  Nabi Muhammad SAW pun diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak umat manusia.  Innamal buistu liutammamima makaarimal akhlak

Wallahu ‘alam.

 

*Rustana Adhi

Guru dan tim pengembang SMP PGII I Bdg .

 

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebermaknaan Hidup

October 24, 2009

Frankl (dalam Schultz, 1991) merumuskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kebermaknaan hidup individu ke dalam tiga faktor, yaitu:

 

Spiritualitas

Merupakan sebuah konsep yang sulit untuk dirumuskan, tidak dapat diturunkan, dan tidak dapat diterangkan dengan term-term yang bersifat material, kendatipun spiritual dapat dipengaruhi oleh dimensi kebendaan. Namun tetap saja spiritualitas tidak dapat disebabkan ataupun dihasilkan oleh hal-hal yang bersifat bendawi tersebut. Istilah spiritual ini dapat disinonimkan dengan istilah jiwa. Covey (2005) menegaskan bahwa hidup ini akan menjadi penuh makna dan keagungan ketika individu dapat mengilhami sekaligus menjadi jalan bagi orang lain untuk menemukan panggilan jiwa mereka, dengan dibimbing oleh empat macam kecerdasan, yaitu: kecerdasan fisik (Physical Quotient), kecerdasan mental (Intelligence Quotient), kecerdasan emosi (Emotional Quotient), dan kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient), di mana ketiga kecerdasan yang disebutkan di bagian awal tunduk pada kecerdasan yang terakhir, spiritual (Spiritual Quotient), yang juga sering disebut sebagai hati nurani.

 

Kebebasan

Kebebasan tidak dibatasi oleh hal-hal yang bersifat non spiritual, oleh insting-insting biologis, apalagi oleh kondisi-kondisi lingkungan. Manusia dianugerahi kebebasan oleh penciptanya, dan dengan kebebasan tersebut ia diharuskan untuk memilih bagaimana hidup dan bertingkah laku yang sehat secara psikologis. Individu yang tidak tahu bagaimana cara memanfaatkan kebebasan yang dianugerahkan Tuhan kepadanya, adalah individu yang mengalami hambatan psikologis atau neurotis. Individu yang neurotik akan menghambat pertumbuhan sekaligus pemenuhan potensi- potensi yang mereka miliki, sehingga akan mengganggu perkembangan sebagai individu secara penuh.

 

Tanggung Jawab

Individu yang sehat secara psikologis menyadari sepenuhnya akan beban dan tanggung jawab yang harus mereka pikul dalam setiap fase kehidupannya, sekaligus menggunakan waktu yang mereka miliki dengan bijaksana agar hidup dapat berkembang ke arah yang lebih baik. Kehidupan yang penuh arti sangat ditentukan oleh kualitasnya, bukan berapa lama atau berapa panjang usia hidup.

Keberadaan manusia akan menjadi sehat dan efektif jika faktor-faktor tersebut di atas dapat terealisasikan dengan baik dan benar dalam setiap tindakan yang dilakukan oleh individu.

Frankl (dalam Schultz, 1991) kemudian menambahkan bahwa dalam menemukan makna hidup tidak terlepas dari realisasi nilai-nilai. Nilai-nilai itu tidak sama bagi setiap orang, dan berbeda dalam setiap situasi. Nilai-nilai itu senantiasa berubah dan fleksibel agar dapat beradaptasi dengan beragam situasi di mana individu dapat menyadari kemampuan yang dimilikinya.

Nilai-nilai yang mendasar bagi manusia dalam upaya menemukan makna hidupnya, menurut Frankl (dalam Schultz, 1991) adalah:

 

Nilai-nilai Kreatif (Creativity Values)

Nilai-nilai kreatif merupakan nilai-nilai yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia yang dapat dipergunakannya untuk memberi sentuhan lebih pada kehidupannya, atau kehidupan orang lain. Nilai-nilai kreatif ini biasanya terealisasi dalam bentuk aktivitas yang kreatif dan produktif, biasanya terkait dengan suatu bidang pekerjaan. Meski begitu, nilai-nilai kreatif dapat  diterapkan di semua sendi kehidupan. Makna hidup akan diberikan melalui karya-karya nyata, tidak harus berupa hal-hal yang bersifat materi atau fisik, mungkin saja dengan ide, ataupun dengan jasa yang diberikan kepada orang lain.

 

Nilai-nilai Pengalaman (Experiential Values)

Nilai-nilai pengalaman adalah apa-apa saja yang diperoleh manusia dalam rentang waktu kehidupannya, misalkan penemuannya akan suatu kebenaran, keindahan, cinta, kasih sayang, caci maki, atau bahkan sumpah serapah. Ada kemungkinan bagi manusia untuk menemukan kebermaknaan hidup dengan mengalami berbagai sisi kehidupan secara intensif, walaupun individu tersebut tidak melakukan sesuatu yang berarti (dalam Risma, 2001).

 

Nilai-nilai Bersikap (Attitudinal Values)

Merupakan sikap yang ditunjukkan oleh manusia terhadap segala kemungkinan atau kondisi yang tidak sanggup diubahnya, seperti penyakit, kesulitan, atau kematian. Kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan, yang sangat potensial untuk menimbulkan tekanan psikologis bagi individu, seperti stres, kesedihan, bahkan keputusasaan, sebenarnya membuka kesempatan yang sangat luas bagi individu untuk dapat menemukan makna hidupnya. Apabila dihadapkan pada kondisi sedemikian, maka satu-satunya cara terbaik dan paling rasional untuk dilakukan adalah dengan menerima keadaan tersebut dengan lapang dada.

Selain faktor-faktor yang telah dipaparkan di atas, faktor lain yang ikut mempengaruhi hadirnya kebermaknaan hidup seseorang adalah konsep diri. Konsep diri menjelaskan tentang pandangan seseorang terhadap dirinya secara menyeluruh terkait dengan keyakinan akan aspek fisik, sosial, psikologis, emosional, maupun aspirasinya (Hurlock, 1979). Konsep diri seseorang akan turut mempengaruhi sikap serta perilakunya dalam menghadapi suatu masalah. Dalam menghadapi suatu situasi, terutama situasi yang kurang menguntungkan bagi diri seseorang, konsep diri yang dimiliki oleh seseorang akan mendominasi mekanisme yang dikembangkannya dalam mengatasi situasi yang kurang menguntungkan tersebut. Positif atau negatifnya konsep diri yang dimiliki, akan berdampak pada hasil yang diperoleh, dan itu juga berarti akan berimbas pada tercapai tidaknya makna hidup.

Hal lain yang juga dapat mempengaruhi apakah seseorang dapat menemukan makna dalam kehidupannya atau tidak adalah kecerdasan adversity. Kecerdasan adversity ini terkait dengan respon seseorang terhadap masalah yang sedang dihadapinya. Kecerdasan adversity juga mengungkap tentang daya adaptasi seseorang terhadap masalah. Stoltz (2005) mengemukakan bahwa individu yang memiliki tekad pantang menyerah dan terus berjuang dengan gigih ketika dihadapkan pada suatu problematika hidup, penuh motivasi, antusiasme, dorongan, ambisi, semangat, serta kegigihan yang tinggi, dipandang sebagai figur yang memiliki kecerdasan adversity yang tinggi, sedangkan individu yang mudah menyerah, pasrah, pesimistik dan memiliki kecenderungan untuk senantiasa bersikap negatif, dapat dikatakan sebagai individu yang memiliki tingkat kecerdasan adversity yang rendah.

Konsep tentang kecerdasan adversity seperti yang dijelaskan di atas jauh-jauh hari telah dipraktikkan oleh Frankl, tokoh penggagas kebermaknaan hidup. Ketika ia menjadi salah satu tahanan tentara Nazi, yang setiap saat berpeluang untuk menjadi korban pembantaian, maka yang senantiasa ada dalam pikirannya adalah bahwa ia harus tetap bertahan, ia tidak ingin mati di dalam kamp konsentrasi milik serdadu Nazi Jerman tersebut (Mayne & Mayne, 2005).              

Pernyataan-pernyataan yang diungkapkan oleh berbagai tokoh di atas memberikan suatu sinyalemen bahwa untuk menemukan makna hidup memang terkesan gampang-gampang susah. Diperlukan berbagai macam perangkat nilai yang (seharusnya) sejak jauh-jauh hari telah ditanamkan dalam diri seseorang. Nilai-nilai tersebut kemudian akan memandu seseorang menuju pemenuhan makna hidup, sekaligus menjadi kunci untuk membuka pintu kebahagiaan. Namun, satu hal yang perlu digarisbawahi pula bahwa rentetan pengalaman hiduplah yang akan menjadi pemantik untuk berfungsi optimalnya nilai-nilai tersebut. Tanpa pengalaman hidup, hampir mustahil seseorang akan mendapatkan makna dalam hidupnya.

 

Sumber :

Ditulis WangMuba pada 07 Mar. 2009, Kategori ARTIKEL, Psikologi Umum

http://wangmuba.com/2009/03/07/faktor-faktor-yang-mempengaruhi-kebermaknaan-hidup
 

Penilaian Diri (Self Assesment) Dalam Pendidikan

October 23, 2009

Melalui  berbagai kebijakannya, saat ini pemerintah menunjukkan komitmen dan kesungguhannya dalam penyelenggaraan sistem pendidikan yang bermutu dan efektif.  Lahirnya undang undang no 20  Tahun 2003 , tentang Sisdiknas , disusul denga Peraturan  Pemerintah No 15 Tahun 2005 , dilanjutkan dengan munculnya Peraturan Pemerintah No.22 tahun 2006, tentang standar isi, Peraturan Menteri No.23 tahun 2006 tentang standar kompentensi lulusan (SKL) adalah diantara buktinya.  Standar Nasional Pendidikan lain, yang saat ini sedang digodok adalah tentang Standar Penilaian Pendidikan. 

            Proses pendidikan akan berlangsung efektif dan memiliki dampak yang berarti bagi proses perubahan dan pembangunan jika dilihat melalui alat ukur kinerja baik proses maupun “produk”-nya.  Alat yang selama ini dikenal untuk melihat kinerja tersebut adalah evaluasi pendidikan.  Dengan instrumen evaluasi yang baik dan representatif serta valid maka efektivitas dan kualitas pendidikan yang selama ini berjalan dapat dengan mudah terlihat.

            Yang menarik dalam evaluasi pendidikan yang saat ini dikembangkan Departemen Pendidikan Nasional adalah dengan model penilaian yang dilakukan oleh peserta didik dan antar peserta didik (self assesment).  Penilaian oleh peserta didik (self assesment) adalah sebuah teknik penilaian yang dilakukan oleh peserta didik (siswa) dalam menggali, menemukan dan mengemukakan tentang kelebihan dan kekurangan dirinya dalam berbagai hal, serta mampu untuk menyikapi dan memperbaiki atas segala kekurangan yang ada serta menguatkan dan mengembangkan leibh lanjut atas segala kelebihannya.

            Di lingkungan Departemen Pendidikan, istilah penilaian diri atau self assesment tidaklah asing, pada saat penyelenggaraan akreditasi sekolah atau pendidikan, sekolah sebelum dinilai oleh tim evaluator atau assessor maka sekolah diharuskan untuk mengadakan penilaian kondisi dan kinerja atas keadaan sekolahnya pada saat sedang berlangsung.  Dampak positif dengan adanya penilaian oleh diri sendiri adalah pihak yang menilai dituntut dengan hati nuraninya, kejujurannya dan kejernihan pemikirannya untuk menilai kondisi dirinya baik individu maupun institusi.

            Model penilaian yang saat ini sedang diolah , yang mengacu pada Peraturan Pemerintah No 15 Tahun 2005 tersebut  adalah model penilaian yang dilaksanakan oleh pendidik, penilaian yang dilakukan oleh satuan pendidikan dan yang dilaksanakan oleh pemerintah.  Penilaian oleh peserta didik akan lebih melengkapkan model penilaian yang selama ini ada. 

            Penilaian diri sebagai teknik penilaian pada hemat penulis akan sangat efektif untuk menggali nilai-nilai spiritual, moral, motif, sikap, bahkan aspek motorik dan kognitif siswa.  Dengan teknik ini peserta didik diajak secara objektif untuk melihat ke dalam dan keadaan dirinya sendiri, sekali lagi dengan jujur dan jernih.  Dampak positif lain dari efektivitas teknik penilaian diri adalah peserta didik akan dikondisikan dan dibiasakan untuk selalu jujur.  Dan jika anak selalu menjaga kondisi sikap dirinya al ini sangat positif bagi upaya pembangunan karakter anak.

            Pendidikan yang berlangsung selama ini, ibarat sebuah menara gading, formalistis, disintegritas dan hipokrit.  Untuk itu perlu ada perubahan paradigma pendidikan yang sangat mendasar.

            Krisis yang saat ini masih melanda bangsa kita adalah krisis multidimensi yang berakar pada masalah moral.  Berbicara moral adalah berbicara nilai-nilai dasar dalam kehidupan, yang akan membentuk sikap mental.  Penlaian diri diharapkan mampu menyentuh nilai azasi manusia yaitu hati nurani, sebab dengan menilai diri sendiri para siswa akan berdialog dengan kesadarannya sendiri.

Dalam panduan umum penilaian pendidikan, yang segera akan ditetapkan oleh Mendiknas, penilaian diri (self assesment) merupakan salah satu teknik penilaian.  Teknik penilaian yang lain adalah tes tertulis, obervasi, tes praktik, penugasan tes lisan, penilain portopolio, jurnal, inventori, dan penilaian antar teman.  Berbagai model penilaian tersebut harus dikembangkan lebih lanjut oleh kelompok mata pelajaran yang meliputi kelompok mata pelejaran ilmu pengetahuan dan teknologi, agama dan akhlak mulia, kewarganegaraan dan kepribadian, estetika jasmani, olahraga dan kesehatan.

 

Penilaian diri dan kecerdasan ganda

Berdasarkan hasil penelitian oleh Howard Gardner bahwa manusia memiliki kecerdasan ganda.  Diantara kecerdasan ganda yang terpenting adalah kecerdasan intrapersonal – kecerdasan dalam pemhaman diri.  Penilaian oleh diri sendiri diharapkan akan lebih mampu aspek dalam (isoteris) dari kepribadian manusai atau siswa.  Daniel Goleman dengan konsep emosional intelligence-nya menyebutkan bahwa emosi seseorang 80% lebih unggul dari kecerdasan intelektualnya.  Dengan adanya teknik evaluasi atau penilaian diri dalam sistem pendidikan kita sangat berharap, tingkat kejujuran genrrasi muda kita akan lebih baik.  Masalah yang sekiranya muncul di lapangan adalah kepiawaian para guru untuk menggunakan teknik ini sehingga dapat berlangsung dengan efektif bukannya menjadikan anak takut untuk mengungkapkan kelemahan, kelebihan, dan potensi dirinya, sehingga kurang tergali.

Penilaian diari merupakan salah satu teknik dan model, para guru dapat menggunakan model lain yang lebih efektif dengan tidak meninggalkan substansinya, yaitu pemberdayaan peserta didik (empowerment) dan perubahan perilaku ke arah yang lebih baik serta hidup bermakna (transformatif).

 

Penilaian diri dan pendidikan agama.

Bebagai kasus yang melibatkan pelajar akhir-akhir ini, kasus perkosaan, pelecehan, tawuran, narkoba, dan kriminal lainnya menunjukan lemahnya nurani. Nurani yang sakit menggambarkan , bahwa pendidikan agama selama ini, belum berfungsi efektif. Pendidikan agama saat ini baru pada tataran formal dan ritual kurang menyentuh aspek pembentuk karakter.  Teknik penilaian diri merupakan salah saru model yang diharapkan mampu lebih banyak menggali dan menyentuh nurani dan fitrahnya.

Penilaian penddidikan agama saat ini cenderung lebih pada aspek kognitif kurang menyentuh aspek afektif, sehingga terjadi pecah kepribadian (split personality).  Kita khawatir akan semakin hancur generasi mendatang di tengah persaingan yang sangat ketat dan benturan budaya yang sangat dahsyat.  Kita tidak terlalu berharap banyak dengan adanya teknik ini, karena untuk melakukan pendidikan yang efektif banyak fakta yang terkait.  Tetapi optimisme kita semoga dapat menjadi solusi bagi pemberdayaan seluruh potensi siswa dan pembentukan karakter dengan adanya modal evaluasi diri (self assessment) ini.

 

*) Rustana Adhi

Stap pengajar dan tim pengembang pada Yayasan Pendidikan PGII  Bandung . Koordinator Forum studi dan Kajian Kebijakan Pendidikan (FORSKKAPI )

 

Ditengah derasnya pengaruh era globalisasi saat ini, kehidupan Mahasiswa antara Idealisme , Materialisme dan Hedonisme

October 23, 2009

Bebas adalah ciri dan karakter yang menonjol dalam kehidupan mahasiswa jika dibandingkan dengan jenjang pendidikan sebelumnya  , tingkat menengah   – terutama di Indonesia.  Karena di beberapa  negara , kehidupan siswa-siswa SMAnya bebas – tanpa seragam, sebagaimana kehidupan mahasiswa di Indonesia.  Kebebasan kehidupan mahasiswa di Indonesia ditengarai dari mulai pakaian belajar ( kuliah ) – yang boleh tanpa seragam, terutama yang bukan kedinasan , sampai “kebebasan mimbar”.  Bebas untuk menyampaikan saran, kritik hasil temuan ilmiah yang sesuai dengan etika dan norma hukum yang berlaku.  Namun tidak sedikit kebebasan yang dianut kalangan mahasiswa yang di salah arti dan salah gunakan.  Masih lekat dalam ingatan kita hasil penelitian kelompok Dasakung di Yogyakarta yang cukup menghebohkan tentang trend “kumpul kebo” di kalangan mahasiswa kost.  Penelitian berikutnya juga terjadi di kota-kota besar lainnya.

“kebebasan” mahasiswa pun membuahkan hasil dengan tumbangnya orde baru dan lahirnya era reformasi melalui gerakan moral, demonstrasi secara intens yang menuntut dan mendesak adanya perubahan iklim politik.  Hidup adalah sebuah pilihan, tidak sedikit mahasisiwa pun harus menentukan pilihan di era kehidupan yang penuh dengan tantangan dan godaan materialisitik, antara memilih dan konsisten dengan idealismenya atau masuk pada kubangan hedonisme, materialisme dan pragmatisme.  Keduanya secara kasat mata nyata dihadapan kita semua.

Banyak faktor memang yang dapat mengkondisikan seseorang atau komunitas mahasiswa menentukan pilihannya.  Tetapi dengan karakter yang menonjol – kebebasannya – tadi, mereka berhak menentukan sendiri pilihannya, tentu dengan segala tanggung jawab dan kesiapan untuk menerima resikonya. 

Dalam buku “Jakarta Undercover” dan buku-buku sejenis lainnya, secarea gamblang terungkap bagaimana seseorang atau kelompok mahasiswa yang berasyik mansyuk bergelimang dalam kenikmatan dan kelezatan duniawi.  Tentu kita dengan mudah menuduhnya ah, itu kan oknum.  Tetapi itulah kenyataan sebuah pilihan perilaku.  Kita pun dapat bersyukur dan berbangga masih banyak mahasiswa yang tetap konsisten menyuarakan hati nurani dan idealismenya untuk menghadang setiap ketidak adilan, hege monipolitik, kolusi, korupsi dan nepotisme dengan berbagai resiko.  Tetapi yang harus di ingat adalah , mahasiswa sebagai kekuatan moral dan intelektual bukan preman, kita menyayangkan kalau mahasiswa terpancing untuk adu fisik dengan aparat atau mahasiswa yang tidak puas lantas mengadakan sweeping dan menganiaya aparat, tentu tindakan seperti itu yang harus dihindari.  Sebagai insan intelektual penegak moral dan nurani.

Pada hemat penulis, paling tidak terdapat 5 jenis ( model ) mahasiswa berdasarkan  gaya dan ekspresinya ; 1. mahasiswa yang apa adanya, kelompok ini mewakili mereka yang hanya belajar, kuliah , gelar dan bekerja nilai kepeduliannya kurang.  2. mahasiswa yang tidak ada apa-apanya, kelompok kedua ini jenis mahasiswa yang hanya menyandang “gelar” mahasiswa yang hanya nongkrong-nongkrong saja.  3. mahasiswa yang ada lebihnya, mahasiswa jenis ke-3 ini turut aktif di kampus dan peduli di masyarakat.  4. mahasiswa yang ada-ada saja, kelompok ke-4 ini adalah  mahasiswa yang banyak ulahnya dari mulai iseng, kriminal, tawuran , narkoba sampai susila     (moral ).  5. mahasiswa yang adanya – lebih dari sekedar ada, kelompok inilah yang penuh dengan idealisme, prestasi, karya dan peduli baik bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsanya.  Mahasiswa jenis ini adalah mereka yang menjalani kehidupan mahasiswanya penuh dengan kebermaknaan, visioner, proaktif, kepedulian, prestasi dan nilai-nilai.  Jenis kelima inilah barang kali yang kita semua banyak berharap terhadap perubahan atmosfir dan kondisi bangsa ini.

Sebagai bahan pertimbangan jika para mahasiswa kita memiliki kehidupan yang efektif sebagai mahasiwa maupun nanti ketika terjun di masyarakat adalah apa yang tertuang dalam bukunya Steven R. Covey yang berjudul “The 7 habits of highly effective people” tentang 7 sifat manusia yang sangat efektif.  Agar tidak menjadi skedar mahasiswa apa adanya atau tidak ada apa-apanya .  Menarik jika ke-7 sifat karya Covey ini dijadikan kebiasaan dan karakter mahasiswa Indonesia.  Ke-7 sifat itu ialah ; 1. kebiasaan bertindak berdasarkan hasil pemikiran akhir ( visioner ), 2. bersikap proaktif dalam menghadapi masalah dan kehidupan, 3. bertindak dengan meniliki skala prioritas, 4. memiliki empati, 5. bersikap win-win solution terhadap masalah ( konflik ), dan 6. berupaya menuju sinergi dan ke-7 selalu memperbaharui diri dengan cara belajar dan teruslah belajar ( asah gergaji ).  Hidup adalah  sebuah pilihan , dan setiap pilihan yang kita ambil akan berakibat  pada resiko tertentu , awal-ahir , cepat –lambat , di Dunia maupun Aherat kelak . Kehidupan yang bagaimana yang akan anda pilih wahai para mahasiswa.  Andalah  pemegang estapeta  perjuangan dan pembangunan bangsa yang besar dan kaya raya ini (we care for you ).

 

* Rustana Adhi

pengamat masalah sosial pendidikan, staf pengajar YP PGII , aktivis dan fasilitator PIPK PPT ITB

 

Kurikulum 2006 (KTSP) dan Pendidikan Karakter

October 23, 2009

Jagalah pikiran karena pikiran akan melahirkan kata-kata, jagalah kata-kata karena kata-kata akan melahirkan perbuatan, jagalah perbuatan karena perbuatan akan melahirkan kebiasaan, jagalah kebiasaan karena kebiasaan akan melahirkan karakter, jagalah karakter karena karakter akan menentukan nasib  (anonim ).

Jika kita cermati, untaian kata-kata hikmah atau syair tersebut maka kita akan mendapatkan kandungan yang sangat dalam dan luar biasa. Bagaimana sebuah karakter terbentuk dan berpengaruh terhadap masa depan (nasib) seseorang atau sebuah komunitas bahkan suatu bangsa. Mari kita tengok, bangsa Jepang dan China sebagai contoh kemajuan bangsanya yang fenomenal merupakan cerminan dari watak atau karakter  warga dan masyarakatnya yang unggul. Jepang dengan semangat “Bushido” dan China dengan semangat “Confushian” nya telah berhasil dan menunjukan pada dunia akan keunggulan karakter warga negara dan masyarakatnya. Dalam sejarah umat Islam, bagaimana Nabi Muhammad SAW mampu membangun karakter para sahabatnya sehingga selama  kurang lebih 23 tahun ajaran Islam tersebar keseluruh dunia, sehingga Michael Hart dalam bukunya “100 Tokoh Dunia yang Paling Berpengaruh” menempatkan Nabi Muhammad sebagai orang yang pantas menduduki peringkat pertama, salah satu keberhasilan Nabi Muhammad adalah karena keberhasilanya dalam membangun karakter unggul atau akhlak  mulia para sahabat dan pengikutnya.

Dari gambaran diatas, kita semakin yakin akan pentingnya pembentukan karakter atau watak pada anak kita melalui kehidupan keluarga maupun pendidikan di lingkungan sekolah. Dalam perspektif Psikologi, karakter atau watak merupakan keadaan seseorang yang terikat dengan norma-norma sosial. Berbeda dengan istilah kepribadian yang menunjukan apa adanya dari sifat seseorang (deskriptif). Sumadi Suryabrata (2003) dalam bukunya “Psikologi Kepribadian“ menyatakan kata watak dipakai dalam arti normatif, orang dikatakan mempunyai watak dalam sikap, tingkah laku dan perbuatannya dipandang dari norma-norma sosial baik, dan dipandang tidak berwatak jika perbuatannya dipandang dari norma-norma sosial, tidak baik. Dalam bukunya tersebut Sumadi Suryabrata menyamakan istilah watak dengan karakter. Dalam konteks pendidikan, institusi pendidikan yang bersifat normatif, di lingkungan sekolah terjadi transmisi dan transformasi nilai-nilai dan norma-norma, baik yang bernilai universal maupun lokal. Sejatinya sekolah sebagai pranata pendidikan mampu melahirkan peserta didik sebagai outcome yang berkarakter unggul, sesuai dengan tuntutan jamannya.

Kurikulum baru dan pengemangan karakter
            Dalam kurikulum 2006, yang dikenal Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), perhatian pada pendidikan dan pembentukan karakter siswa sangat tinggi. Hal ini tampak dengan adanya program pengembangan diri. Melalui pengembangan diri ini, sekolah diberi kesempatan seluas –luasnya untuk mendisain (merancang) program pengembangan diri yang sangat sesuai dengan kondisi sekolah yang bersangkutan serta kebutuhan siswa .

Jika kita cermati  kondisi pendidikan dan persekolahan kita saat ini, bagaimana sikap, perilaku dan karakter negatif masih saja menggejala, dengan tidak mengurangi penghargaan bagi para siswa yang tetap memiliki motivasi tinggi dan prestasi baik serta upaya guru-guru yang tiada henti-hentinya menanamkan karakter positif dan unggul. Perilaku seperti pergaulan bebas, sikap hedonisme, kriminalitas, tradisi nyontek, budaya instan, arogan, asosial, dll.  Sikap-sikap tersebut dalam jangka panjang sangat merusak dan merugikan diri sendiri dan masyarakat luas bahkan bangsa, ditengah persaingan yang ketat. Kembali pada masalah pokok kita, model dan karakter bagaimana yang saat ini perlu dibangun dalam diri generasi muda kita. Sebagai bahan bagi pihak sekolah  dalam upaya penyusunan program pengembangan diri dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan  (KTSP ) sekolahnya.  Menarik untuk kita kaji bersama karya dari DR. Ratna Megawangi dalam bukunya Pendidikan Karakter (2004), menyampaikan 9 perilaku pembentukan karakter dalam pendidikan, yaitu;

1. Menanamkan rasa cinta pada Tuhan dan kebenaran.

2. Menumbuhkan sikap tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian.

3. Menumbuhkan sikap amanah dan kejujuran.

4. Menumbuhkembangkan rasa hormat dan santun.

5. Mengembangkan sikap kasih sayang, kepedulian dan kerja sama.

6. Menumbuhkan rasa percaya diri, kreatif dan pantang menyerah.

7. Membangun sikap keadilan dan kepemimpinan.

8. Menumbuhkan sikap baik dan rendah hati.

9. Membangun dan menumbuhkan sikap toleransi dan cinta damai.

Kesembilan prinsip pilar-pilar karakter tersebut jika dicermati sudah sangat sesuai dengan kondisi di masyarakat kita yang menunjang nilai-nilai ketuhanan, keadilan, persatuan, kesatuan, musyawarah, yang terkandung dalam sila-sila Pancasila. Menengok pada modal pendidikan di sekolah-sekolah kita, banyak cara menanamkan karakter unggul, baik melalui pendekatan intrakurikuler, kokulikuler, maupun ekstrakulikuler. Tetapi yang paling mendasar adalah melalui lingkungan sekolah yang sudah merupakan budaya sekolah         (school culture) dan contoh atau keteladanan para guru serta pimpinan sekolah. Berbicara budaya sekolah maka kita akan menegok nilai nilai, sikap, prilaku, kebiasaan dan simbol-simbol fisik yang mendukung bagi upaya tumbuh kembangnya karakter positif dan unggul (excellent).

Pendidikan dan karakter unggul

Di akhir tahun 2005 lalu ,dari mulai presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai Gubernur Jawa Barat, Dani Setiawan, saat akan memasuki tahun baru 2006 , menyerukan akan pentingnya budaya unggul bagi bangsa Indonesia. Saat ini di tengah-tengah daya saing bangsa-bangsa yang sangat ketat di dunia. Pendidikan dan pembentukan karakter bagi bangsa Indonesia saat ini sangatlah urgen, mendesak dan critical bagi kelangsungan hidup bangsa ini kedepan. Krisis multidimensi saat ini seharusnya menyadarkan kita akan pentingnya membangun dan pembentukan karakter generasi muda kita. Sekolah diharapkan dapat menjadi pelengkap (complement) dan memperkaya (supplement) terhadap pendidikan karakter yang ada di lingkungan pendidikan keluarga. Karena bagaimanapun keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama dalam penanaman nilai-nilai dan pembentukan karakter pada generasi muda (anak-anak).

Dalam kurikulum 2004 atau KBK, yang saat ini telah disempurnakan menjadi kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP ),  disamping tuntunan kompetensi pada peserta didik juga ada pendekatan dalam menumbuhkan sikap yaitu melalui pembiasaan. Jika model pembiasaan berhasil dan efektif diterapkan pada siswa maka lambat laun akan terbentuk habits yang merupakan cikal bakal terbentuknya karakter. Menarik untuk kita simak bersama, ungkapan Prof. DR. Gede Raka, MIME seorang guru besar ITB yang sangat peduli pada kreativitas dan pengembangan pendidikan di Indonesia, berkaitan dengan pentingnya pembentukan karakter, pendidikan dan pembangunan  bangsa, menurut beliau, ”Tiada bangsa yang maju kecuali didukung oleh warga negara yang unggul (berkarakter unggul) tidak ada warga negara yang berkarakter unggul kecuali didukung oleh sistem pendidikan yang maju. Tidak ada pendidikan yang maju kecuali didukung oleh guru-guru yang bermutu, tidak ada guru-guru yang bermutu jika tidak didukung oleh komitmen dan karakter yang unggul, mari kita miliki dan tumbuh kembangkan karakter unggul muda saat ini,  sekecil apapun dan mulai dari diri sendiri.” 

Model atau sistem pendidikan yang mampu membangun karakter anak bangsa adalah model pendidikan yang sekiranya dapat di ibaratkan sebagai sebuah pohon yang kokoh, pohon yang kokoh dan bagus adalah pohon yang memiliki akar yang kuat terhujam sampai ke dasar tanah, batangnya yang kokoh, besar dengan dahan yang banyak, ranting yang banyak sebagai pangkal tubuhnya daun dan buah, serta daun yang rindang dan buah yang banyak dan bagus. Sistem pendidikan yang sekiranya dapat membangun karakter peserta didik yaitu yang memiliki landasan falsafah yang jelas, nilai-nilai dasar tegas yang bersifat fundamental dan menyeluruh (holistic). Jika aspek ini tidak terpenuhi jangan mimpi mampu melahirkan sebuah karakter yang unggul. Adapun batang yang kokoh menggambarkan landasan konsep teori, teori, budaya dan manajemen pendidikan yang mantap, transparan dan profesional, jauh dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dahan dan ranting yang banyak mrngambarkan guru-guru yang memiliki integritas tinggi, komitmen yang kuat, profesional, berwawasan, kreatif dan peduli serta berakhlakul karimah sehingga menjadi inspirasi dan teladan bagi murid-muridnya. Daun yang banyak dan buah yang bagus mengambarkan output dan outcome pendidikan yang kita harapkan sosok para siswa yang memiliki iman yang kuat dan mantap, bertaqwa, berakhlakul karimah, taat, ibadah, cerdas, kreatif, peduli pada sesama, cinta lingkungan, jujur dan bertangung jawab. Itulah sosok pribadi yang berkarakter unggul. Sudah seperti itukah arah dan hasil pendidikan kita?. Semoga dengan mulai diberlakukannya kurikulum baru  2006 , KTSP ,melalui program pengembangan diri , pembentukan karakter anak bangsa ( character building ) lebih baik lagi.

* Drs. Rustana Adhi.
Penulis adalah guru SMP/SMA PGII1, fasilitator ELTAP dan penggiat PIPK PPT ITB. 

 

Free Website Hosting

Adsense Indonesia

Recent Posts